MEDIAMITRAPOL.COM, SUMATERA UTARA - Kisruh Konflik dampak lingkungan dan sosial antara masyarakat Natumingka di kabupaten Toba dengan pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang terjadi belakangan ini, menjadi sorotan perhatian publik berbagai lapisan masyarakat. Pasalnya telah keluar berbagai komentar-komentar pedas dari berbagai pihak hingga meminta penutupan operasional perusahaan yang berskala nasional tersebut.
Banyak pertanyaan yang berkembang di kalangan pemerhati kemajuan pembangunan daerah khususnya Sumatera Utara. Namun demikian tidak sedikit pula pihak yang mendukung atas statement penutupan operasional PT TPL.
Menyikapi hal ini Pdt Langsung Sitorus, STh, MTh, salah satu tokoh masyarakat Sumatera Utara kepada awak media beberapa waktu lalu terkait konflik sosial di Natumingka mengatakan ” tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan, mengenai konflik sosial di Natumingka sebetulnya bisa dimediasi oleh Pemerintah Daerah. Terkait dengan kepentingan keberatan masyarakat juga bisa di bawa ke perjanjian yang tidak merugikan kedua belah pihak antara masyarakat dengan PT TPL. Banyak hal yang bisa dilakukan seperti perjanjian mekanisme penanaman, pemeliharaan dan pemanenan eucalyptus. Jadi tidak ada hal yang tidak mungkin dalam hal ini.” katanya.
Menyikapi kiaruh konflik dampak lingkungan dan sosial Natumingka di kabupaten Toba yang terus bergulir belakangan ini, akhirnya pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) melalui Humasnya, Dedy Armaya mengeluarkan pernyataan resmi, kepada awak media pada Rabu (9/6/2021) di Medan mengatakan ” mengenai statement penutupan yang di sampaikan oleh mereka itu hak mereka karena mereka mempunyai kapasitas untuk itu. Ketidakpuasan oleh kelompok masyarakat itu juga hak mereka, namun perlu saya jelaskan bahwa kami tidak pernah merambah tanah adat untuk kepentingan perusahaan. Kami memiliki legalitas luas wilayah yang diberikan oleh pemerintah ke perusahaan kita dan saat ini hanya 40% saja yang masih kami gunakan. Maka sangatlah tidak masuk akal apabila kami merambah tanah adat mereka sementara tanah perusahaan yang belum di manfaatkan saja masih banyak.” katanya.
Dedy Armaya menjelaskan lebih lanjut ” setelah hasil tim audit independen yang dibentuk pemerintah menyatakan bahwa pihak lembaga/yayasan (yang tak disebut namanya) dinyatakan tidak mampu menggunakan dana kompensasi yang jumlahnya 1% dari hasil penjualan itu, selanjutnya mulai terhitung tahun 2017 hingga sekarang dana kompensasi tersebut dikelola langsung oleh perusahaan.” tambahnya.
Dedy juga menjelaskan bahwa karyawan PT TPL ada 6.000 orang tenaga kerja dan 1.000 orang karyawan, 90 % putra daerah. Kemudian dari dana pengelolaan kompensasi yang disalurkan dari perusahaan sesuai faktanya telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar dengan terbentuk puluhan UMKM, Kelompok Tani, Adat, dukungan meningkatkan fasilitas dan pendirian rumah ibadah baik Agama Kristen maupun Islam dan masih banyak lagi dukungan kegiatan masyarakat yang tentu saja sebagian besar dapat menyerap tenaga kerja. Bahkan setiap kegiatan selalu kita laporkan ke Kementerian terkait, sebagai bentuk laporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan pemerintah setempat.
” marilah kita mencoba untuk berfikir jernih dalam menanggapi berbagai konflik yang timbul belakangan ini. Bahkan kalau dilihat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari PT TPL ke danau Toba sangatlah tidak mungkin disamping jaraknya yang hampir 9 km juga elevasinya tidak memungkinkan.” pungkasnya tegas. (Red/WeS)