News MediaMitraPol

Demi Hukum dan Kepercayaan Publik, Tidak Ada Rahasia di Desa: UU No.14 Thn 2008 — KIP Memaksa Pejabat Desa 'Terbuka'


MEDIAMITRAPOL.COM, SUMATERA UTARATransparansi Dana Desa Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban. Kalau Masih Menutup-nutupi, Jangan Heran Kalau Rakyat Menilai Ada 'Permainan Kotor' Di Balik Meja.


Mengawal Dana Desa dengan Mudah: Aplikasi “JAGA” Sebagai Sarana Partisipasi Publiki,di era digital, 'rahasia' sudah basi. Aplikasi Jaga Bansos dan kanal pengawasan publik seharusnya menjadi 'mata rakyat' untuk mengawal dana desa. Tapi ironisnya, masih ada kepala desa yang menutup-nutupi APBDes, seolah desa adalah panggung sandiwara dan warga hanyalah penonton bodoh. UU No.14 Tahun 2008 tentang KIP Pasal 9 dan 11 menegaskan informasi publik terkait keuangan wajib diumumkan. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 24 huruf d menekankan asas transparansi dan partisipasi masyarakat, sementara Pasal 68 memberi hak warga untuk mengawasi APBDes. Permendagri No. 20 Tahun 2018 menegaskan APBDes harus terbuka dan bisa diakses publik.


Tapi masih ada pejabat desa yang ngotot menutup data, camat yang pura-pura buta, dan Inspektorat yang hanya duduk manis. Jangan lupa, audit dana desa diatur UU No. 15 Tahun 2004 tentang BPK, dan pelanggaran bisa masuk ranah pidana dengan ancaman 20 tahun penjara (UU Tipikor Pasal 3) serta pidana berdasarkan UU KIP Pasal 52. Menutup data bukan lagi drama administratif; ini urusan hukum dan nurani.



Jika kepala desa masih menutup-nutupi informasi, dampaknya bukan hanya pada ranah hukum, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat. Masyarakat yang merasa dibohongi akan kehilangan rasa hormat dan partisipasi dalam pembangunan desa.


Camat dan Inspektorat juga memiliki tanggung jawab pengawasan yang tidak bisa diabaikan. Jika mereka diam saja, itu berarti mereka ikut lalai dan membiarkan potensi penyalahgunaan dana desa terjadi tanpa kontrol.


Penutupan informasi bisa berujung pidana, karena UU KIP Pasal 52 memberi sanksi bagi pejabat yang menolak menyediakan informasi publik. Ini menunjukkan bahwa transparansi bukan sekadar formalitas, tapi kewajiban hukum yang nyata.


Lebih parah lagi, jika penutupan data menimbulkan kerugian negara, pejabat desa bisa dijerat UU Tipikor Pasal 3 dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara. Ancaman ini jelas bukan sekadar teori, tapi kenyataan yang menunggu pejabat desa yang lalai atau sengaja menyembunyikan informasi.



Aktivis Pemerhati Penyelenggara dan Penggunaan Anggaran Negara, Sumatera Utara, Wesly, SS.i menegaskan: “Seluruh Desa bukan kotak hitam. Setiap rupiah dana desa adalah hak rakyat. Kepala desa yang menutup data sedang menabur bibit korupsi. Jangan tunggu murka rakyat, segera buka data dan hentikan sandiwara rahasia ini,”.


Lumumba T, S.H., pengamat hukum dan pengurus Law Firm RT & Partners, menambahkan: “ASN dan perangkat desa itu penyelenggara negara, bukan raja kecil. Menutup APBDes jelas melawan UU KIP, UU Desa, dan UU Tipikor. Camat dan Inspektorat yang diam pun ikut tercatat lalai. Jangan main-main, konsekuensi pidana nyata menunggu,”.


Sementara itu, Febri Turnip, S.Kom, pemerhati Keterbukaan Informasi Publik dan Sosial-lingkungan yang juga sebagai Wakil Sekretaris DPC PPDI Kota Medan, Sumatera Utara, menegaskan: “Desa yang ada di Republik Indonesia ini adalah rumah rakyat, bukan gudang rahasia. Menutup data memunculkan aroma penyalahgunaan. Kalau pejabat desa alergi transparansi, jangan salahkan rakyat bila turun langsung mengawasi,”.


Pernyataan ini menampar keras: kepala desa yang bermain “petak umpet” dengan APBDes, camat yang acuh, dan Inspektorat yang lemah pengawasan sedang berada di bawah sorotan tajam publik. (Red/Tim)

MediaMitraPol.com Designed by AzraMedia - MedanTemplateism.com Copyright © 2017

Theme images by Bim. Powered by Blogger.