MEDIAMITRAPOL.COM, OPINI || JAKARTA - Ketika Novel Baswedan mendatangi PGI, Persekutuan Gereja Indonesia, saya jujur tertawa ngakak dan ngeri dalam waktu yang sama.
Ngeri karena Novel Baswedan kian mirip dengan Anies Baswedan. Yang ketika ada masalah dan kepentingan pribadi, mereka tidak segan memainkan isu SARA demi menyalakan api provokasi. Anies menikmati kemenangan dengan dalil pemimpin harus muslim, yang ga milih diancam ga disholati. Lalu kini Novel mendatangi PGI demi sebuah klaim bahwa dirinya adalah orang yang toleran dan bukan taliban.
Saya ga habis pikir kenapa ketika ada masalah tidak lolos tes wawasan kebangsaan kok ngadunya malah ke PGI? Apakah gedung KPK itu merupakan salah satu Gereja tersembunyi di Indonesia? Hehe
Dan PGI juga aneh, malah mendukung 75 orang yang ga lolos tes wawasan kebangsaan, lalu meminta Presiden turun tangan. Ini aneh karena PGI mengurusi yang bukan urusannya. Ibarat orang putus cinta, tapi putusnya minta ditetapkan dalam peraturan Presiden.
Tapi saya juga tertawa karena melihat ini sebagai sebuah kejadian yang lucu dan penuh berkah. Karena selama ini sebagai muslim, saya sering malu dengan tingkah polah MUI. Yang kerap mengurusi sesuatu yang sebenarnya bukan urusannya, bukan kapasitasnya. Nah sekarang MUI ada temennya, PGI dari Kristen. Jadi sekarang kita imbang, sama-sama punya lembaga keagamaan yang ngurusi segala macam permasalahan.
Dari kejadian ini kita juga akhirnya soal daleman KPK seperti apa. soal orang-orang KPK yang tidak mau diatur dan selalu menempatkan dirinya sebagai pihak yang dizolimi. Drama banget.
Kita tentu masih ingat bagaimana KPK menolak dewan pengawas, menolak RUU KPK yang baru, menganggap itu semua adalah upaya perlemahan. Narasi yang sama juga digaungkan hari ini, seolah-olah tes wawasan kebangsaan itu konspirasi untuk menyingkirkan Novel dan kawan-kawan. Menganggap diri paling suci, sementara lembaga negara lainnya, yang mendukung tes wawasan kebangsaan, salah semua.
Ini berbahaya karena KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi, yang mestinya hidup dan taat dengan banyak aturan, tapi kini kita bisa melihat diisi oleh orang-orang yang ga mau diatur dan pengen menang sendiri. Suka suka mereka.
Bayangkan, 75 orang yang ga lolos tes itu kompak menolak keputusan pembinaan. Bahkan Novel mengatakan kalaupun masuk di kelompok 24 orang yang masih bisa berada di KPK asalkan ikut pelatihan dan pembinaan, Novel menolak.
Serba salah jadinya. *Dipecat ga mau, dibina ga mau, tapi tetap ingin berada di KPK. Kan repot!*
Yang lebih lucu lagi karena eks pimpinan KPK dan jubirnya, kini juga membela novel. Seolah tunduk banget sama Novel. Lalu ada 500 orang staf yang katanya juga mendukung agar Novel dkk dipertahankan di KPK.
Klaim ini semakin menunjukkan betapa Novel sangat berpengaruh. Selama 14 tahun berada di KPK, nampaknya dia sudah punya simpul dan menguasai mayoritas staf KPK. Sehingga bebas melakukan apa saja. Sampai berani mau mendongkel dan mengganti Firli Ketua KPK. Ini kan sama kayak buruh yang menuntut agar CEO perusahaan diganti.
Tapi kalau mau diingat lagi, 500 orang yang sekarang mendukung Novel itu sebenarnya adalah orang-orang yang dulu tidak setuju dengan Firli. Ketika Firli baru dicalonkan sebagai ketua KPK baru, ada 500 orang staf yang tanda tangan tidak setuju. Dan sekarang orang-orang yang sama itu juga menolak pemecatan terhadap 51 orang KPK. Jadi sebenarnya ini adalah murni masalah internal, dan staf KPK yang mulai berpolitik demi sebuah ambisi kelompoknya.
Fakta ini semakin mengkhawatirkan, karena KPK punya kekuasaan yang sangat luas, tapi mereka juga terlihat bermain politik. Sehingga wajar kalau KPK sempat menolak laporan dugaan korupsi dari Presiden Jokowi. Karena kasus tersebut hanya menyangkut uang besar dan aset negara, tapi tidak menyangkut partai politik. Sehingga tidak seru dan tidak bisa dijadikan alat jual beli hukum demi sebuah pergantian kekuasaan di sebuah daerah.
Wajar juga kalau belakangan ini ada pemerasan terhadap kepala daerah agar mereka tidak dikasuskan oleh KPK. Ini jelas serangkaian fakta kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang di dalam KPK. Demi ambisi pribadi dan demi kepentingan golongannya. Begitulah….
Penulis Oleh :
Alifurrahman
(Red)